Etik dan Estetik Pagelaran Wayang
Refleksi
Pertunjukan Wayang
(2 Desember 2017)
Oleh
Devi
Nofriyanti (17709251041)
PPS
UNY Pendidikan Matematika B
Refleksi
telah diposting di deenof.blogspot.com
Assalammu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Kali
ini saya akan merefleksikan etik dan estetik pagelaran wayang kulit yang saya
lihat di museum Sonobudoyo Yogyakarta pada hari Sabtu, 2 Desember 2017. Ini
adalah kali pertama saya menonton wayang. Kesan pertama menyaksikan pertunjukan
ini adalah rasa bangga bahwa Indonesia mempunyai mahakarya yang seperti ini.
Dari sumber bacaan yang saya dapatkan bahwa wayang merupakan seni pertunjukan
asli indonesia yang berkembang pesat di Pulau Jawa dan Bali. Bahkan wayang
dimasukkan ke dalam daftar representatif budaya tak benda warisan manusia oleh
UNESCO tahun 2003. Sebagai orang Indonesia kita perlu bangga dan melestarikan
kesenian ini. Saya pernah mendapat cerita bahwa pagelaran wayang yang
sesungguhnya disajikan semalam suntuk. Namun museum Sonobudoyo merangkumnya dalam
durasi dua jam saja.
Saat
masuk ke ruang pertunjukan, saya melihat beberapa orang duduk menghadap dalang
dan pemain gamelan. Kemudian ada beberapa turis berdatangan ikut menyaksikan. Setelah
puas melihat langsung bagaimana dalang memainkan wayang. Sayapun beranjak ke
bagian depan untuk menyaksikan bayangan wayang yang terlihat dari tirai
berbentuk persegi panjang. Dengan suasana lampu yang agak gelap, diiringi suara
nyanyian sinden serta gamelan, kesan tradisional pun nampak sangat terasa di
sini. Saya sangat terpukau dengan dalang yang mampu memainkan wayang dengan
banyak tokoh. Gerakan yang dibuat pun sangat cekatan. Pergantian gerak demi
gerak yang senada dengan iringan gamelan memperlihatkan bahwa pementas wayang
tersebut sudah sangat terlatih.
Sekitar
satu jam saya menikmati semua yang saya lihat. Karena cerita yang ditampilkan
menggunakan bahasa Jawa halus, saya tidak mengerti. Jangankah bahasa Jawa halus
bahasa Jawa standar pun saya tidak paham. Dari sinilah saya mau memberi
komentar terkait etik yaitu benar salah dan estetik yaitu keindahan pagelaran
wayang yang saya tonton. Menurut pendapat saya etik dari hal baiknya adalah
bahwa pagelaran ini merupakan seni budaya yang keberadaannya berhasil dijaga
sampai saat ini. Saya sangat mengapresiasi para dalang, sinden, pemain gamelan
dan siapapun yang terlibat dan mendukung pagelaran ini. Kemudian etik dari hal
buruknya adalah penonton yang melihat pertunjukan ini tidak semuanya dapat memahami
cerita yang ditampilkan karena terkendala bahasa, termasuk saya sendiri. Dari yang
saya amati turis asing yang menonton pertunjukan tersebut hanya menikmati
keunikannya bukan isi ceritanya, pertunjukan belum selesai penontonnya sudah
keluar ruangan dan saya menjadi penonton terakhir yang bertahan sampai pukul
22.00 wib. Pertunjukan dengan menggunakan bahasa Jawa halus itu memang unik, sempat
saya berpikir mungkin akan lebih baik jika pagelarannya juga menggunakan bahasa
Indonesia ataupun inggris sebagai variasi pertunjukan. Tapi mungkin juga akan
aneh jadinya. Saya hanya berharap pagelaran ini tetap diminati oleh masyarakat
kita dan turis manca negara.
Selanjutnya
dari segi estetika (keindahan), seperti yang saya sebutkan sebelumnya bahwa
saya menyukai keselarasan antara pemain gamelan, dayang dan sinden. Mereka mampu
menampilkan pertunjukan wayang yang memukau walaupun saya tidak paham isi
ceritanya. Saya hanya mengerti di cerita ini ada tokoh Rama dan Sinta yang mengindikasikan bahwa pagelaran yang saya tonton menceritakan cerita Ramayana.
Demikianlah
refleksi pagelaran wayang yang dapat saya buat. Semoga bermanfaat. Wassalammu’alaikum
warahmatullahi wabarakatuh.
Komentar
Posting Komentar